Travel Diary Every Journey has a story to share

Minggu, 23 Oktober 2016

Trip to Sumba (Day 2) : Danau Weekuri, Pantai Mandorak, dan Pantai Waikelo

Danau Weekuri

Setelah perjalanan panjang sekitar 2 jam dari Pantai Bwanna, kami tiba di Danau Weekuri. Sejak awal, kami berencana untuk berenang di sini. Sudah nyiapin kasur pelampung dan pompanya buat seru-seruan. Cuma karena aku nggak terlalu mahir berenang, agak was2-was juga kalau danaunya dalam. Setelah berganti baju dan memompa pelampung, kami menuju danau. Suasananya asri sekali. Air yang jernih berwarna gradasi biru dikelilingi pepohonan hijau yang rindang. Dipinggir tempat kami turun ada karang yang cukup tajam. Jadi saat melepas alas kaki harus hati-hati agar kaki tidak terluka. Sudah ada wisatawan lokal di sana yang sedang berenang dan ada juga yang lagi duduk bersantai di pinggir danau sambil menyantap makan siang.
Keindahan Danau Weekuri
Kalau ngeliat orang-orang sih kelihatan nggak dalam ya, pas coba nyebur ke airnya ternyata memang nggak dalam, hanya sepinggang sampai sedada orang dewasa. Katanya beruntung saat itu air lagi pas banget, nggak terlalu pasang dan nggak terlalu surut juga. Karena kalau lagi surut airnya terlalu dangkal nggak bisa buat berenang. Oh iya, kenapa danau ini ada pasang surutnya karena posisinya yang tepat berada di pinggir pantai, hanya dipagari oleh batu karang saja. Kalau lagi ombak besar, keliatan airnya merembes dari sela-sela karang.
Dibalik karang ini merupakan laut lepas 
Airnya begitu tenang, jernih dan segar banget. Dasar danaunya juga merupakan pasir putih seperti di pantai. Ditambah pepohonan sekelilingnya menambah indah danau ini. My favorite nature pool so far.
Jernih bangettttt.
Puas menikmati kesegaran airnya, kami memilih bersantai di atas kasur pelampung. Karena airnya tenang tidak ada ombak seperti di laut, jadinya bener-bener berasa lagi tiduran di atas air. Seru banget pokoknya. Walapun cuaca saat itu cukup terik, tidak mengurungkan niat kami untuk berlama-lama disini. Kulit yang menghitam bisa kembali normal lagi seiring waktu. Tapi kesempatan untuk kesini lagi ntah kapan akan terulang. My quote of the day. Hehe..
Sleeping on the water. :-p
Say Hi..!!!
Bersama anak-anak nakal tapi baik hati. :-)
Cukup lama kami disini, sekitar 2 jam. Setelah ganti baju, kami menikmati air kelapa yang dijual di lokasi. Seger banget dan isinya juga masih muda dan lembut. Awalnya mau sekalian makan siang disini, cuma karena langsung nyebur ke danau jadi lupa. Jadinya kami berencana makan di Pantai Mandorak yang menjadi tujuan kami selanjutnya yang jaraknya cukup dekat, sekitar 1-2 km saja.

Pantai Mandorak

Tiba di pantai Mandorak, kami di sambut oleh sejumlah pemuda yang sedang main kartu di sebuah pondok. Raut mukanya tidak terlalu wellcome dengan kedatangan kami. Kemudian seorang pemuda menghampiri dan meminta uang masuk 50 ribu tampa embel-embel uang donasi atau mengisi buku tamu.
Pantai Mandorak
Pantai Mandorak ini tergolong unik. Pantainya cukup kecil, hanya sebesar halaman rumah. Ada batu karang yang melindungi pantai ini dari gempuran ombak yang cukup besar. Sehingga pantai ini tampak seperti sebuah cekungan alami untuk menjadikan pantai ini seperi pantai pribadi. Di dalam lokasi ini juga ada sebuah bangunan resort beratap khas Sumba. Menurut keterangan Om Piet, resort ini milik orang asing (lupa negara mana) yang sedang nggak ada di tempat.

Ingin melihat pantai ini dari sudut berbeda, saya naik ke atas karang-karang tersebut melalui sisi kanan pantai. Karangnya cukup tajam, beberapa kali sendal yang aku pakai nyangkut seperti kecucuk duri. Sehingga harus super hati-hati agar tidak tersandung. Jangan coba-coba jalan di karang ini tanpa alas kaki. Kecuali kalau bisa debus ya. Hehe.
Karang yang cukup tajam
Pemandangan dari sini juga nggak kalah indahnya. Aku bisa ngeliat ombak-ombak besar datang menghantam batu karang yang menutupi pantai Mandorak. Cukup menantang, karena air pecahan ombak bisa seperti air mancur saking kencangnya. Harus hati-hati banget biar nggak kepleset kebawah.
 
Ombak besar
one word, Beautiful!!
Sembari aku foto-foto, temenku si Bunga memilih makan siang di pinggir pantai. Saat mulai makan, tiba-tiba banyak anak kecil datang nyamperin minta uang. Bahkan ada yang menyebut nominal 50 ribu. Alasannya buat beli buku, buat beli pensil, dsb. Karena dari awal kami nggak mau ngasih uang jadi si Bunga nolak secara halus. Tapi anak-anak tersebut terus meminta dan nungguin sambil ngeliatin si Bunga makan. Karena risih, bunga nggak jadi makan disitu. Langsung dibungkusin makanannya dan manggil aku yang lagi sibuk foto untuk segera meninggalkan lokasi ini.

Sungguh disesalkan ya, padahal pengen lama-lama disini. Cuma karena udah ada perasaan nggak nyaman, terpaksa harus meninggalkan tempat ini lebih cepat. Saat itu masih jam 5 dan kami langsung kembali ke kota Waitabula dan makan siang di dalam mobil. No matter what, Mandorak is still awesome place. Semoga lokasi ini bisa berbenah dan membuat wisatawan nyaman. Pantai yang cukup potensial untuk dikembangkan. :-)

Karena masih sore, kami berencana mencari lokasi lain yang bisa dikunjungi terutama yang bisa melihat sunset. Akhirnya pilihan jauh pada Pantai Waikelo yang hanya 10 menit dari Kota Waitabula. Di pantai ini terdapat pelabuhan waikelo yang sore itu tampak beberapa kapal sedang bersandar.

Pelabuhan Waikelo
Sepanjang menuju lokasi banyak pemukiman penduduk. Kami berhenti di area parkir pelabuhan dan duduk di pinggir untuk melihat pantai dan aktivitas warga sekitar dari atas. Sore itu banyak sekali anak-anak lagi bermain di pantai. Sedangkan ibu-ibunya sedang sibuk mencuci baju. Pantainya cukup landai dan pasirnya putih. Banyak perahu nelayan sedang bersandar. Aku mencoba mengabadikan aktivitas warga disini. Walaupun pemandangannya nggak terlalu wow, tapi melihat kegiatan warga di pinggir pantai menjadi pengalaman yang mengasyikkan juga. 
Anak-anak warga sekitar sedang bermain di pantai
Saat di pantai, aku dan bunga ngobrol tentang perjalanan kita besok yang harus pindah tempat. Rencananya kita akan menempuh perjalanan ke Sumba Barat sampai Sumba Timur. Om Piet masih belum memberikan kepastian kesanggupannya untuk mengantar kami ke rute selanjutnya. Beliau banyak tidak tahu lokasi yang kami tuju. Aku mencoba menelpon Bang Jonny (driver yang ketemu di bandara tambolaka) menanyakan kesediaannya dan berapa harga yang ditawarkan. Karena lokasinya jauh, kami deal dengan harga 800ribu perhari. Kecuali hari terakhir yang cuma setengah hari jadi 500 ribu saja.

Sunset disini tidak terlalu jelas karena matahari tertutup bukit. Tapi semburat warna oranye di langit cukup membuat suasana di pantai menjadi lebih syahdu.
Sunset di waikelo

Setelah matahari menghilang dari balik bukit, kami menuju ke Resto Gula Garam lagi untuk makan malam. Kemudian balik ke hotel dan nggak lupa foto sama Om Piet karena besok kami sudah berganti driver. Sebelum Istirahat, kami beres-beres barang karena besok harus check out dari Sinar Tambolaka. Long journey will start tomorrow. Can’t Wait.

Senin, 10 Oktober 2016

Trip to Sumba (Day 2) : Pantai Bawana


Berbekal petunjuk dari pemuda di Pantai Watu Maladong, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Bawana. Begitu banyak persimpangan jalan yang kami temui. Sempat membuat kami bingung dan tersesat. Beberapa kali bertanya warga sekitar juga tidak membuahkan hasil. 
Jalan buntu, kami tersesat.
Dengan bermodalkan trial error dan feeling, Om Piet mencoba sebuah jalan di rerimbunan ilalang. Cukup sempit dan di ujungnya tertutup pepohonan. Awalnya sempat gak yakin ini jalannya Dan taraaaa... ternyata benar ada pemandangan laut indah di baliknya.
Indahnya ciptaan tuhan
Setelah parkir mobil, sudah tampak birunya laut dan suara deburan ombak. Lagi-lagi nggak sabar dan langsung bergegas turun. Turunannya cukup terjal dan di bawahnya ada sebuah tanjung sehingga kami bisa melihat pantai dari atas. Ternyata lokasi yang kami inginkan sedikit meleset. Rencananya lokasi yang kami tuju berada di bawah tanjung tersebut dimana harus naik mobil ke depan lagi dan menuruni tebing di pinggir pantainya. Tapi kami pikir, saat itu laut sedang pasang, sehingga untuk turun kebawah agak terbatas dan cukup bahaya karena ombak juga cukup besar. Lagipula pemandangan dari atas tanjung juga luar biasa indahnya.
Tanjung tempat untuk melihat pantai bawana dari atas
Karang bolong yang menjadi khas pantai bawana. Tampak air sedang pasang. Jadi agak bahaya untuk turun ke bawah.
Berkali-kali kami dibuat terkagum-kagum dengan keindahan pantai ini. Warna air dengan berbagai gradasi warna biru, tebing kokoh yang ditumbuhi pepohonon hijau, ombak besar dan panjang, cuaca yang cerah, dan kami melihat semuanya itu dari ketinggian. Emejinnnggg... Berasa jadi dewa penguasa lautan. :-D. Foto dari segala sudut disini semuanya indah. Keasyikan berfoto sampai membuat kami lupa lupa kalau cuaca saat itu cukup menyengat dan membakar kulit.
Foto dari ujung tanjung. It's natural bridge.
I look so tiny.
Photo where you look like in savannah
Di sisi sebelahnya juga ga kalah indahnya. Bisa keliatan Pantai Watu Maladong dari sini
Puas berfoto, kami memilih duduk di sebuah lopo (pondok) untuk bersantai sambil menikmati alam sekitar. Terima kasih banyak yang sudah membuat lopo ini, sangat bermanfaat untuk beristirahat dan menikmati angin pantai dari atas tanjung. Rasanya mau berlama-lama disini, tiduran di lopo atau sekedar menikmati es kelapa atau rujak segar (Sayangnya nggak ada yang jualan +_+).

Santai bangetttt. Mau bawa pulang lopo sekalian sama pemandangannya ke rumah. :-D
Setelah cukup lama disini, kami bergegas ke lokasi selanjutnya yaitu Danau Weekuri dan Pantai Mandorak yang jaraknya cukup jauh. Seperti biasa sudah ada pemuda lokal menunggu untuk meminta kami mengisi buku tamu. Bedanya, mereka mematok donasi sebesar 50 ribu. Walapun agak kurang ikhlas, tapi mau nggak mau kami harus bayar. Sebenarnya nggak masalah ada pungutan asalkan resmi dan bermanfaat bagi warga sekitar. Kenyataannya, hanya dimanfaatkan oknum saja.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Trip to Sumba (Day 2) : Pantai Watu Maladong




Good Morning. Cukup nyenyak tidur malam ini, mungkin efek kecapekan juga kemarinnya ya. Hari ini rencana berangkat jam 7 pagi karena lokasi yang ingin dikunjungi cukup jauh, yaitu Pantai Watu Maladong dan Pantai Bwanna. Jaraknya sekitar 80 km. Sebelum berangkat kami sarapan dulu di hotel. Makanannya simpel tidak banyak variasi. Ada nasi goreng, ayam goreng, tempe dan kerupuk. Ada juga roti selai untuk yang nggak suka sarapan nasi. Makanannya boleh biasa, tapi pemandangan lembah kehijauan di sebelah kami, menambah kelezatannya jadi berlipat-lipat. Hehe..
Breakfast dulu biar kuat di jalan
Kami ngaret berangkat sampai jam 8, karena nungguin pesanan nasi kotak di hotel untuk bekal makan siang nanti. Memang dari info yang kami dapat, nggak ada tempat makan sepanjang perjalanan nanti. Jadi solusinya dengan membawa bekal makan siang, minuman, dan makanan ringan yang bisa dibeli di seputaran kota Waitabula. Mungkin disarankan untuk pesan nasi kotak dari semalam supaya paginya sebelum berangkat sudah ready.

Pantai Watu Maladong

Sayang sekali Om Piet tidak begitu hafal jalan ke Watu Maladong. Dia pernah sekali kesana dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Tapi dia meyakinkan kami kalau semalam sudah banyak tanya sama teman-temannya yang sering kesana. Ya, kalau tersesat nanti tinggal tanya aja.
Sepanjang perjalanan, kami menemukan banyak kebun jambu mede. Memang pulau Sumba ini terkenal sebagai penghasil kacang mede. Bahkan sudah banyak yang diekspor ke luar negeri yang umumnya masih bahan mentah. Coba kalau bisa diolah dulu baru diekspor ya. Karena di luar negeri kacang mede olahan harganya cukup tinggi. Salah satu potensi menjanjikan dari pulau Sumba.
kondisi jalan menuju lokasi
Kami juga sempat melihat prosesi pemindahan rumah oleh warga setempat. Karena penasaran, kami turun dari mobil untuk melihat lebih dekat. Suasananya rame sekali. Kaum pria sekitar 20an orang sudah siap sedia dengan balok panjang untuk memindahkan rumah kayu ke lokasi dudukan pondasi yang baru. Sedangkan kaum wanitanya duduk di halaman rumah sambil bersorak ria memberikan semangat. Meriah sekali. Seneng banget bisa ngeliat suasana gotong royong seperti ini. Hal yang mungkin sudah jarang dilakukan bagi kaum urban ibukota.
Pindahin rumah, bukan pindah rumah. :-)
Perjalanan kami lanjutkan. Kini jalannya sudah berganti dari aspal menjadi tanah berbatu. Terpaksa kecepatan kami kurangi. Tidak ada rambu penunjuk jalan dimana lokasi Pantai Watu Maladong. Sempat ketemu jalan buntu, akhirnya Om Piet memutuskan untuk bertanya warga setempat. Setelah dua kali bertanya, akhirnya kami tiba juga di pantai Watu Maladong. Yuhuuuuuu.....
Sebelum masuk lokasi. Bener gak ini Pantai Watu Maladong?
Begitu sampai langsung buru-buru turun karena terkesima dengan keindahan pantainya. Ada papan peringatan kalau berhati-hati saat air pasang, karena ombak disini cukup besar. Dan saat itu, laut memang sedang pasang. Jadinya kami tidak bisa menuju batu – batu karst yang menjadi khas pantai ini. Walau begitu, tidak mengurangi keindahan pantai ini. Diapit dengan dua bukit karst, latar pepohonan hijau yang lebat, ombak yang cukup besar dan lingkungan yang sepi bikin kami tak henti-hentinya mengabadikan lansekap ini. Cuaca saat itu sangat cerah, cukup menyengat kulit.
Cerah sekali, nggak ada awan yang lewat. :-)
Batu yang berdiri kokoh di lepas pantai
Jangan lupa foto-foto ya. :-D
Setelah puas berfoto kami memilih ngadem di sebuah batu raksasa yang tertutup matahari saembari menikmati pantai yang cantik ini. Menurut cerita warga, ternyata lokasi disini cukup keramat. :-O. Dimana mereka percaya lokasi ini ada penunggunya. Ada beberapa pantangan saat berada disini, salah satunya dilarang untuk naik ke atas batu. Menurut cerita, pernah ada wisatawan jepang yang nekat naik kemudian terjatuh hingga meninggal. Ntah benar atau nggak ceritanya, setidaknya kita menghormati norma dan kepercayaan setempat.
Ngadem di balik batu raksasa ini.
Saat kami ingin kembali ke mobil, aku ngeliat ada jalan menuju sisi lain dari pantai ini, penasaran akhirnya coba menelusuri jalan tersebut. Voilaa.. ternyata ada keindahan berbeda dari pantai sebelahnya. Ada beberapa batu karst dan hamparan pasir pantai diseberang. Karena lagi pasang, kami gak bisa kesana karena ada arus air yang cukup kencang walaupun airnya ga terlalu dalam. Demi keselamatan, jadi cuma foto-foto saja sambil duduk di bebatuan di pinggir pantai tersebut.
Sisi lain dari Watu Maladong. Karena lagi pasang,kami tidak bisa mendekat ke batu-batu tersebut
Sebelum meninggalkan lokasi kami sudah ditungguin oleh pemuda lokal untuk mengisi buku tamu dan memberi donasi seikhlasnya. Kami juga sempat menanyakan jalan menuju ke pantai bawanna yang katanya tidak terlalu jauh dari watu maladong. Oke, kita berangkat.

Rabu, 05 Oktober 2016

Trip to Sumba (Day 1) : Pantai Pero


Sekitar jam 5an sore kami berangkat menuju Pantai Pero untuk menyaksikan sunset. Lokasinya gak terlalu jauh sih, sekitar 5 km dari Ratenggaro. Jadi dipastikan masih keburu untuk menikmati pantainya sebelum matahari terbenam. Menyusuri jalanan menuju Pero, aku merasa ada yang berbeda dari pemandangan sekeliling dibandingkan pemandangan saat menuju Ratenggaro. Jika sebelumnya kita banyak menemukan rumah khas sumba yang beratap tinggi dan kubur batu hampir di setiap depan rumahnya, berbeda saat di Pero. Disana rumahnya seperti rumah kayu atau rumah beton biasa, ada perkuburan muslim, dan Masjid. Yappp, kata Om Piet, disini merupakan kampung muslim satu-satunya di daerah Kodi-Sumba Barat Daya. Mayoritas penduduknya adalah pendatang dari Ende, Flores dan berprofesi sebagai nelayan.
Lansekap Pantai Pero
Perahu nelayan yang bersandar di muara sungai dekat pantai
Saat kami tiba disana, suasana pantai cukup sunyi. Hanya tampak beberapa orang sedang memancing di atas karang yang menyelimuti sebagian besar area pinggir pantai. Menurut aku karang-karang ini yang menjadi keunikan pantai Pero yang dipadu dengan hamparan pasirnya yang berwarna krem. Karena karangnya cukup tajam dan licin, harus cukup hati-hati berjalan di atasnya dan jangan lupa pakai alas kaki.
Karang yang menjadi ciri khas Pantai Pero
Matahari masih tinggi, Kami berganti celana pendek untuk bermain-main di sebuah cekungan pantai sempit yang dikelilingi karang. Sama seperti di Ratenggaro, ombak disini juga cukup besar. Beberapa kali kami dikagetkan dengan ombak besar yang tiba-tiba datang sehingga membuat kami sampai basah kuyup (padahal ga ada niat mandi disini). Walaupun begitu, kami tetap berfoto-foto di atas karang dengan deburan ombak ala2 video klip, lompat dari atas karang, dan lari-larian dikejar ombak. It looks a little childish sih, tapi bener-bener happy saat itu. Rasanya lupa semua masalah pekerjaan dan lika-liku kehidupan yang mendera. Hehehe..
Our private beach.
waiting for the waves. :-D
Lelah berfoto dan bermain-main kami memilih duduk di atas pasir dengen bersender di balik karang yang cukup besar. Kami ngobrol santai dan sesekali memperhatikan sekeliling. Melihat hamparan pasir, gugusan karang, dan sejuknya angin pantai di sore hari.
Rebahan disini? I did it. Pasirnya bersih.
Matahari hampir terbenam, kami dipanggil Om Piet naik ke atas untuk menyaksikan sunset. Cuaca lumayan cerah saat itu, jadi matahari bisa terlihat jelas saat perlahan hilang di balik lautan samudera hindia dan langit berubah menjadi oranye, kemerahan, dan suasana mulai berubah menjadi lebih gelap. Romantis sekali, coba lagi sama kekasih pujaan hati ya. hehe..
Magnificent sunset in Pero
Setelah matahari sudah tenggelam seluruhnya, kami langsung bergegas meninggalkan lokasi dan kembali menuju Kota Waitabula untuk makan malam. Perjalanan pulang berasa lebih lama, apalagi belum makan siang (belum makan nasi tepatnya). Kami memilih makan disebuah resto terbaik se-Waitabula, yaitu Warung Gula Garam. Arsitektur bangunannya bergaya tradisional, namun mayoritas menyediakan western food. Harganya standar untuk ukuran resto dan rasanya juga cukup enak. Recommended untuk menikmati makan malam santai dan tenang tapi tetap kekinian.


Setelah makan malam sekitar jam 8an, kami kembali ke hotel untuk beristirahat. What a tired but happy day. See you tomorrow.

Selasa, 27 September 2016

Trip to Sumba (Day 1) : Arrival - Kampung Ratenggaro


It’s the day. Gak sabar banget untuk segera menuju Sumba. Bangun pagi-pagi trus sarapan dulu di Hotel Sylvia Budget. Makanannya lumayan enak dan banyak menunya juga. Recommended lah nginap di sini kalo lagi di Kupang. Checkout dari hotel langsung menuju Bandara El Tari dengan Taxi seharga 80 ribu. Kalau mau murah bisa naik ojek tapi harus jalan sedikit ke arah pasar. Ojek ke Bandara sekitar 40 ribu.

Pesawat yang akan membawa saya ke Tambolaka-Sumba Barat Daya yaitu Garuda Indonesia. Karena memang satu-satunya penerbangan yang ada dari Kupang kesana. Sepanjang perjalanan sekitar 1 jam, disuguhi pemandangan yang cukup indah. Untungnya saya duduk di sisi kiri pesawat dekat jendela, jadinya bisa ngeliat Pulau Rote dan Sabu dari kejauhan. Apalagi cuaca sedang cerah-cerahnya saat itu. Saat mulai memasuki langit Sumba, terlihat topography yang berbukit-bukit dan kering yang memang menjadi khas pulau Sumba. Semakin mendekati saat landing, sudah tampak banyak perkampungan dengan atap-atap khas Sumba. It’s official, this is Sumba. Yaaaayy.. *tepuk tangan

Bandar Udara Tambolaka yang tampak masih baru
Welcome to Tambolaka Airport. Bandaranya tampak masih baru. Bangunan modern dengan atapnya yang khas. Tidak terlalu besar, tapi lebih dari cukup untuk menampung 3 flight per hari. Tambolaka – Kupang (Garuda) dan Tambolaka – Denpasar (Wings dan Garuda). Setelah mengambil bagasi, banyak driver menawarkan jasa Taxi. Waktu itu belum kepikiran mau naik taxi dulu ke Hotel baru rental mobil di sana, apa rental langsung di bandara. Sambil menunggu Bunga yang masih di Denpasar, saya ngajak ngobrol santai dulu aja sama beberapa driver disitu. Saat nanya harga, ada driver yang bilang kalau rental seharian All in sekitar 850ribu. Wahh.. mahal banget. Trus nanya ke driver lain, ada yang nawarinnya 600rb. Trus nanya lagi ke beberapa memang sekitar 600rb untuk sekitar Sumba Barat Daya. Akhirnya saya deal sama driver namanya Om Piet.

Sudah hampir sejam menunggu, Bunga belum datang juga (ternyata delay), akhirnya ngobrol sama driver lain yang juga nunggu pesawat dari Denpasar datang. Namanya Johnny, masih muda dan tau banyak pariwisata mulai dari Sumba Barat sampai timur dia pernah. Sesekali dia ngeliatin foto-foto waktu ngantar orang tur keliling Sumba. Dari awal keliatan orangnya asik dan bisa dijadikan guide + driver. Cuma karena udah deal sama Om Piet, saya minta nomor hapenya aja, siapa tau nanti butuh.

Tengteneng.. si Bunga datang juga. Saya panggil Om Piet dan kita langsung menuju hotel dulu buat check in dan naruh barang. Dia merekomendasikan dua hotel antara Sinar Tambolaka atau Sumba Sejahtera. Kami memilih Sinar Tambolaka karena viewnya lebih bagus walaupun katanya kamar di Sumba Sejahtera lebih bagus.

Setelah check in dan naruh tas, kami langsung berangkat ke tujuan pertama yaitu Kampung adat Ratenggaro. Tapi sebelumnya kami mampir dulu di sebuah mini market di Pusat Kota Waitabula untuk membeli minuman dan roti karena memang kami belum makan siang saat itu.
Waitabula - Ratenggaro (44 km)
First destination : Kampung adat Ratenggaro

Perjalanan sekitar 1 jam ke arah selatan dari Waitabula (ibukota kabupaten Sumba Barat Daya). Sepanjang perjalanan saya penasaran kenapa di depan rumah warga ada bangunan seperti bak tertutup berukuran sekitar 3 x 2 meter. Ternyata itu kuburan. Masyarakat di Sumba Barat Daya banyak yang memakamkan kerabat yang meninggal di depan rumah. Bentuk kuburan seperti kubur batu, Cuma karena batu sudah sulit dicari, maka digantikan dengan beton.

Jalanan ke Ratenggaro 90% aspal mulus, hanya sekitar 3 km menuju kampung, jalannya tanah bebatuan. Tiba di Ratenggaro, kami menuju sekelompok orang yang sedang duduk di salah satu rumah adat untuk meminta izin berkunjung. Kesan pertama yang muncul yaitu agak sedikit deg-degan. Selain di pintu gerbang di sambut dengan puluhan kuburan yang cukup besar, penduduk pria di kampung ini pada bawa golok yang disangkut di pinggang. Ternyata memang budayanya seperti itu, dimana lelaki ada kebiasaan membawa golok kemana-mana. Mungkin lambang kejantanan ya.

Setelah izin kami berkeliling kampung yang tidak terlalu besar ini. Saat menuju ke arah belakang, membuat saya tersadar kalo kampung ini berada diatas tebing yang menghadap pantai pasir putih yang cukup bagus. Duh, bener-bener indah banget. Dari kejauhan juga tampak kampung Wainyapu dengan atap-atapnya yang tinggi. Tanpa pikir panjang langsung jepret-jepret dengan berbagai gaya.
View dari belakang Kampung Ratenggaro. Breathtaking
Keunikan Ratenggaro dengan kampung adat yang lain yaitu pada atapnya. Konon atap rumah di Ratenggaro merupakan yang tertinggi di Sumba. Kira-kira mencapai 30 meter. Sehingga dari kejauhan pun bisa kelihatan menjulang tinggi. Atapnya merupakan ilalang kering yang diikat kemudian ditumpuk.
Atap rumah yang menjulang tinggi. 
Mayoritas penduduk disini menganut agama Marapu yang memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Makanya di tengah kampung banyak ditemukan kubur batu para leluhur mereka yang sangat dihormati. Kubur batu di Sumba ini merupakan peninggalan Zaman Megalitikum yang masih lestari sampai sekarang.
Kubur Batu yang merupakan makam leluhur masyarakat Ratenggaro
Puas mengelilingi Ratenggaro, kami mengisi buku tamu di Rumah Kepala Desa. Yapp, ada kebiasaan saat wisata di Sumba Barat Daya, dimana kita diminta untuk mengisi buku tamu dan memberikan uang seikhlasnya. Rata-rata orang ngasih 10ribu sampai 100ribu.
Foto sama keluarga Kepala Desa. Cekrekk.. :-)
Kami penasaran dengan pantai pasir putih yang terlihat dari Kampung Ratenggaro. Kemudian Om Piet membawa kami kesana yang jaraknya cukup dekat sekitar 200 m menuruni jalan yang berbatu. Di pantai, tampak beberapa turis bule yang sedang sibuk fotografi dan juga bermain selancar. Ombaknya memang cukup besar jadi cocok untuk surfing.
View Kampung Ratenggaro dari pantai.
Ada juga kuburan batu yang cukup tinggi dan berumur ratusan tahun. Katanya kubur batu tersebut merupakan makam pendiri dan raja-raja Ratenggaro yang sangat dikeramatkan.
Kubur batu Raja yang cukup besar. Tingginya sekitar 2 meter.
Menuruni pantai tampak hamparan pasir putih yang luas dan cukup bersih. Kami memilih duduk diatas karang untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan paduan alam yang begitu indah ini. Ada juga sungai kecil yang mengalir dari sebuah teluk kecil dengan latar pepohonan hijau menuju ke pantai. Sungguh terpesona dengan keindahannya. Padahal baru destinasi pertama sudah takjub begini. Sekitar sejaman disana, kami cabut menuju Pantai Pero untuk menyaksikan sunset. Cusss..
White sandy beach with big waves. Beautiful.
NB : Ada satu hal yang sedikit menganggu saat perjalanan kesini, yaitu masyarakatnya yang terbiasa meminta uang ke pengunjung. Mulai dari anak-anak sampai lelaki dewasa. Saat kami berkeliling juga diikuti terus secara bergerombol, jadi pas mau foto agak gimana gitu diliatin orang rame. Kalau anak-anak secara blak-blakan mintanya. “kak, minta uang kak, minta uang kak”. Kalau orang dewasa mereka beralasan uangnya untuk menghormati kubur batu leluhur mereka (kata driver kami itu akal-akalan saja). Katanya, dulu banyak pengunjung kesini yang notabene orang kaya suka ngasih-ngasih uang. Karena terbiasa, jadinya sampai sekarang tiap pengunjung yang datang mereka pikir mau bagi-bagi uang juga. So, kalau mau kesana disarankan jangan ngasih uang kecuali saat isi buku tamu. Jawab aja dengan alasan yang halus. Kalau niat mau ngasih sesuatu, kasih aja buku, alat tulis, atau makanan ringan buat anak-anak disana.

Sinar Tambolaka
2-Sept-2016