Sekitar jam 5an sore kami berangkat menuju Pantai Pero untuk
menyaksikan sunset. Lokasinya gak terlalu jauh sih, sekitar 5 km dari
Ratenggaro. Jadi dipastikan masih keburu untuk menikmati pantainya sebelum
matahari terbenam. Menyusuri jalanan menuju Pero, aku merasa ada yang berbeda
dari pemandangan sekeliling dibandingkan pemandangan saat menuju Ratenggaro.
Jika sebelumnya kita banyak menemukan rumah khas sumba yang beratap
tinggi dan kubur batu hampir di setiap depan rumahnya, berbeda saat di Pero.
Disana rumahnya seperti rumah kayu atau rumah beton biasa, ada perkuburan
muslim, dan Masjid. Yappp, kata Om Piet, disini merupakan kampung muslim
satu-satunya di daerah Kodi-Sumba Barat Daya. Mayoritas penduduknya adalah pendatang
dari Ende, Flores dan berprofesi sebagai nelayan.
|
Lansekap Pantai Pero |
|
Perahu nelayan yang bersandar di muara sungai dekat pantai |
Saat kami tiba disana, suasana pantai cukup sunyi. Hanya tampak
beberapa orang sedang memancing di atas karang yang menyelimuti sebagian besar area pinggir pantai. Menurut aku karang-karang ini yang menjadi
keunikan pantai Pero yang dipadu dengan hamparan pasirnya yang berwarna krem. Karena karangnya cukup tajam dan licin, harus cukup hati-hati berjalan di atasnya dan jangan lupa pakai alas kaki.
|
Karang yang menjadi ciri khas Pantai Pero |
Matahari masih tinggi, Kami berganti celana pendek untuk bermain-main
di sebuah cekungan pantai sempit yang dikelilingi karang. Sama seperti di Ratenggaro,
ombak disini juga cukup besar. Beberapa kali kami dikagetkan dengan ombak besar yang
tiba-tiba datang sehingga membuat kami sampai basah kuyup (padahal ga ada
niat mandi disini). Walaupun begitu, kami tetap berfoto-foto di atas karang
dengan deburan ombak ala2 video klip, lompat dari atas karang, dan
lari-larian dikejar ombak. It looks a little childish sih, tapi bener-bener
happy saat itu. Rasanya lupa semua masalah pekerjaan dan lika-liku kehidupan yang
mendera. Hehehe..
|
Our private beach. |
|
waiting for the waves. :-D |
Lelah berfoto dan bermain-main kami memilih duduk di atas pasir
dengen bersender di balik karang yang cukup besar. Kami ngobrol santai dan sesekali memperhatikan
sekeliling. Melihat hamparan pasir, gugusan karang, dan sejuknya angin pantai di sore hari.
|
Rebahan disini? I did it. Pasirnya bersih. |
Matahari hampir terbenam, kami dipanggil Om Piet naik ke atas
untuk menyaksikan sunset. Cuaca lumayan cerah saat itu, jadi matahari bisa terlihat
jelas saat perlahan hilang di balik lautan samudera hindia dan langit berubah menjadi
oranye, kemerahan, dan suasana mulai berubah menjadi lebih gelap. Romantis sekali, coba
lagi sama kekasih pujaan hati ya. hehe..
|
Magnificent sunset in Pero |
Setelah matahari sudah tenggelam seluruhnya, kami langsung bergegas meninggalkan lokasi dan kembali menuju Kota Waitabula untuk makan malam. Perjalanan pulang berasa lebih lama, apalagi belum makan siang (belum makan nasi tepatnya). Kami memilih makan disebuah resto terbaik se-Waitabula, yaitu Warung Gula Garam. Arsitektur bangunannya bergaya tradisional, namun mayoritas menyediakan western food. Harganya standar untuk ukuran resto dan rasanya juga cukup enak. Recommended untuk menikmati makan malam santai dan tenang tapi tetap kekinian.
Setelah makan malam sekitar jam 8an, kami kembali ke hotel untuk beristirahat. What a tired but happy day. See you tomorrow.
Hai kak bisa minta no hp drivernya
BalasHapustolong email ke ekaoktaviani05@gmail.com